Penurunan Pasokan dan Peningkatan Penegakan Hukum di Perairan Indonesia Membuat Nelayan Filipina Kehilangan Masa Depan

General Santos, Filipina – Selasa, 27 Januari, adalah hari keberuntung bagi Wilson Manlunas (40 tahun).

Lima orang kru kapalnya baru saja mendaratkan 10 ekor tuna kuning yang jika kualitasnya cukup baik, secara bruto mereka bisa memperoleh 100,000 Peso (US $ 2.250 atau sekitar 28 juta rupiah) setelah berlayar sekitar 10 hari.

Jadwal pelayaran itu otomatis membuat lama pelayaran mereka lebih sedikit dan jarak jeda berlayar lebih jauh.

Jika segalanya tidak berjalan baik bagi mereka tahun ini, Wilson takut semakin banyak nelayan tuna kecil seperti dia bisa kehilangan mata pencaharian dan masa depan mereka.

“Ay, Daghan na ang nangundang pagpanagat didto,” keluhnya dalam bahasa lokal Filipina. (Sayangnya, banyak yang berhenti menangkap ikan di Indonesia, Red.).

Untuk veteran seperti dia yang sadar bahwa tak ada pekerjaan lain untuk dirinya, paham betul bahwa jika tidak melakukan sesuatu untuk melindungi satu-satunya sumber penghasilan, ia akan bergabung dengan para pengangguran lainnya di kota.

Bukan berarti mereka tidak pernah diperingatkan berulang kali, tapi tindakan keras baru atas penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia tidak hanya menyakiti nelayan tuna Filipina. Hal ini juga berdampak bagi pelaku dan pemilik kapal lokal yang juga menggunakan purse seine.

Besar dan kecil

Dexter Tan, kepala pemasaran (SAFI) Fishing Industry milik keluarga, mengatakan mereka telah menangguhkan sementara operasi penangkapan ikan di Indonesia sambil menunggu klarifikasi atas kebijakan perikanan Pemerintah Indonesia yang terbaru ini.

Dia mengatakan empat kapal purse seine milik mereka, kini berlabuh di Indonesia dan telah memerintahkan sebagian besar kru mereka untuk dirumahkan sementara.

“Gusto nila (Pemerintah Indonesia menginginkan, Red.) 100 persen awak Indonesia,” jelas Tan.

Walikota Rivera mengatakan bagaimana pun nelayan Indonesia tidak siap dibanding nelayan dan kapal Filipina.

“Mereka (orang Indonesia) benar-benar membutuhkan nelayan Filipina karena mereka belum siap,” ujar Walikota Rivera kepada ABS-CBN TV Patrol, TV lokal pekan lalu.

Tan juga mengatakan mereka belum bisa mempercayakan kapal mereka kepada kru Indonesia. Enam puluh persen dari operasi penangkapan ikan perusahaan SAFI sekarang di Indonesia.

Lainnya, seperti TSP Marine, Perikanan Damalerio, SAL Fishing, RD Perikanan, RLG and Fishing (perusahaan perikanan Filipina, Red.) telah berupaya turut melakukan banyak investasi di bidang manufaktur dan pengolahan tanaman di Indonesia agar tetap mendapat akses dan alasan untuk menangkap ikan.

“Dibutuhkan keahlian khusus dan pengalaman bagi seorang ahli dan asisten ahli penangkap ikan, kepala insinyur dan ahli jaring yang bisa ditugaskan menangani nelayan Indonesia,” jelas Tan lebih lanjut.

Tan mengatakan 80 persen dari awak kapal yang ada sudah diawaki oleh orang Indonesia.

Dia menambahkan bahwa mereka telah mematuhi semua peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia sampai kebijakan terbaru ini yang didorong oleh pemerintahan baru.

Pada tulisan ini, Tan mengatakan enam perusahaan perikanan Filipina lainnya yang beroperasi di Indonesia telah berhenti sama sekali atau mengurangi operasi mereka.

Untuk bagian mereka, Tan menunjukkan bahwa mereka memiliki lisensi yang sah untuk menangkap ikan di perairan Indonesia setelah sindikasi perusahaan Filipina, yang mana SAFI menjadi pemegang sahamnya, membeli pabrik pengalengan yang sebelumnya dimiliki oleh Purefoods Inc di Bitung, Indonesia.

Dua pabrik pengalengan Filipina lain yang beroperasi di Indonesia yang memperbolehkan pemegang sahamnya, semuanya adalah pemilik perusahaan perikanan, untuk menangkap ikan di perairan Indonesia.

Pabrik-pabrik pengalengan tuna milik Filipina di Indonesia telah menyediakan lapangan kerja lokal dan memberikan masukan devisa bagi pemerintah Indonesia.

Namun Tan juga mengakui bahwa beberapa operator kapal purse seine Filipina telah secara ilegal mengeruk hasil laut di perairan Indonesia.

Namun demikian, ia percaya mereka akan dapat mencarikan solusi atas masalah ini.

Untuk saat ini, pasokan hasil laut beku masih bisa membantu mengisi kebutuhan produksi di Indonesia.

Tapi mungkin tidak akan bertahan lama.

Itulah sebabnya dia melihat perlu diadakan negosiasi dan dialog sesegera mungkin.

Tidak ada pilihan

Bagi Manlunas, ini adalah masalah kelangsungan hidup.

“ Wala mi choice. Wala nay isda sa sentro tungod sa kadaghan nga nagalagak,” jelasnya. (Kami punya pilihan. Tidak ada lagi ikan di perairan Filipina karena begitu banyak jala yang mereka tebar).

 

Sehingga banyak yang berani mengambil risiko. Banyak, juga, yang akhirnya ditangkap dan dipenjara, beberapa di antaranya berbulan-bulan – dan kapal mereka turut disita.

Sama halnya Tan, Manlunas mengatakan ia juga telah memiliki izin untuk menangkap ikan di Indonesia.

Teknik memancing ikan tuna secara langsung (handline) tidak begitu menarik perhatian para patroli laut Indonesia.

Metode memancing (handline) tuna Filipina dianggap sebagai salah satu teknik penangkapan ikan tuna yang paling aman.

Dengan menggunakan pancingan satu tali (single-line) dan kail tunggal, mereka jarang menangkap hiu dan diketahui tidak pernah sampai menangkap lumba-lumba.

Mereka melemparkan pancing mereka dalam-dalam di sekitar ikan kumpulan perangkat (rumpon atau payaws) dan belum menjadi ancaman terhadap populasi tuna remaja.

Diplomasi tersembunyi

Industri lokal tidak membuat pernyataan secara terbuka padahal sebenarnya semua anggotanya terkena dampak.

Akhir tahun lalu, menyusul terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden, Pemerintah Indonesia memperketat aturannya pada penangkapan ikan ilegal di perairan teritorial dan area penangkapan ikan nelayan.

Banyak nelayan Filipina, baik yang sah dan yang ilegal, awalnya berpikir bahwa itu hanya bualan semata.

Selama ini, larangan penangkapan ikan ilegal dan perburuan liar di perairan Indonesia hanya berjalan di tempat – tepat setelah Indonesia mengakhiri perjanjian bilateral penangkapan ikan dengan Filipina.

Tapi ketika pemerintah Indonesia mulai meledakkan dan menenggelamkan kapal nelayan asing yang disita di wilayah perairan mereka, sekarang semua orang menjadi awas.

Hal ini mendorong Asosiasi Socsksargen Perikanan Federasi dan Sekutu Industri (SAFFAI) meminta pertemuan intens dengan Walikota General Santos, Ronnel Rivera.

“Kami mengadakan pembicaraan dengan Walikota. Kami sepakat untuk tetap tenang dan membiarkan pemerintah nasional untuk memulai dialog dan melanjutkan negosiasi,” kata direktur eksekutif SAFFAI, Rosanna Contreras baru-baru ini.

Walikota hanya bisa menyarankan agar anggota federasi lebih serius dalam hal pengurusan surat untuk dilanjutkan kepada instansi pemerintah.

Paradigma baru

Sementara menaruh simpati terhadap nasib nelayan tuna, Direktur Asis Perez, Biro Perikanan dan Sumber Daya Air (BFAR) mengatakan situasi tidak sepenuhnya tak terkendali.

Dia mengatakan sudah saatnya bagi perusahaan penangkapan ikan tuna Filipina untuk mengeksplorasi ke wilayah timur kepulauan Filipina untuk memperluas operasi penangkapan ikan mereka.

“Kami telah berlabuh di ratusan rumpon (payaws) di laut lepas Davao Oriental hingga Cagayan di utara,” jelas Perez.

Dia juga ingin agar Filipina bisa mengungguli Thailand sebagai produsen tuna kaleng nomor satu di Asia.

“Kelebihan kami dibanding Thailand adalah kita memiliki lahan perikanan kita sendiri,” jelas direktur perikanan.

Negara ini menduduki peringkat ke-2 terbesar produsen dan pemroses tuna kaleng di Asia, setelah Thailand.

Filipina juga terletak di sepanjang jalur tuna yang melalui Samudera Hindia menuju Barat dan Tengah Samudera Pasifik.

Pada tahun 2014, ekitar 47 persen dari 193.867 metrik ton jumlah ikan yang ada di Kota General Santos adalah tuna beku, yang mana lebih dari 70 persen berasal dari kapal-kapal asing.

Pengalengan Kota General Santos mulai mengimpor tuna beku pada pertengahan 2000-an.

Berdasar pencatatan resmi Philippine Fishport Development Authority, tuna beku telah menyumbang 53 persen dari total ikan yang ada di kompleks pelabuhan perikanan Kota General Santos.

Antara 2008 dan 2014, total 1.012.488 metrik ton ikan – yang hampir 89 persen adalah tuna – telah tercatat di General Santos.

Sekitar 537.491 metrik ton selama periode tersebut adalah tuna beku.

Jumlah 193,867.55 metrik ton tahun lalu itu merupakan angka yang tertinggi sejak tahun 2003 dengan pendaratan ikan segar lokal sejumlah 101,480.19 metrik ton. Juga menjadi rekor dalam 12 tahun terakhir.

Perez mengatakan, mereka masih punya PR untuk menelaah dampak dari regulasi ketat baru atas penangkapan ikan ilegal oleh pemerintah Indonesia.

Dia juga menegaskan bahwa tidak hanya perusahaan penangkapan ikan tuna Filipina yang beroperasi di perairan Indonesia, berdasarkan fakta bahwa kapal nelayan yang diledakkan adalah milik perusahaan perikanan Malaysia dan Vietnam.

Sementara itu, perusahaan perikanan tuna lokal tetap bisa duduk manis sebab tahun lalu, rekor hasil tangkap ikan masih dapat dipertahankan.

 

Sumber: 
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Tags: 
Penegakan Hukum Perairan Indonesia